Sebuah Kisah

"Maaf Bu, kami tidak menerima karyawan baru"
"Huft", ini sudah kesekian kalinya..tak terhitung berapa banyaknya penolakan yang dihadapi.. dengan langkah gontai ia berjalan keluar.

Siti duduk termenung di depan pabrik sepatu yang baru saja didatangi untuk mencari pekerjaan.. lagi-lagi ia harus menerima sebuah kata "maaf, disini tidak ada lowongan".

Tanpa terasa bulir bening menetes di sela matanya.. ah, ia menangis, teringat wajah ketiga buah hatinya dirumah.

Andai saja suaminya masih ada, ia mungkin tidak perlu seperti ini..bersusah payah mencari kerja demi menghidupi ketiga buah hatinya.

Dadanya semakin sesak mengingat kilatan peristiwa dalam hidupnya, saat terakhir suaminya berpulang "Bu, maafin bapak ya, udah banyak ngerepotin ibu, sekarang bapak mau pergi, titip anak-anak ya Bu" lalu setelahnya Jarwo suaminya menutup mata, meninggalkan dunia..meninggalkan Siti dan ketiga anaknya sendirian di dunia.

Jarwo suaminya memang sudah lama sakit, tetapi kondisi tersebut tidak menyurutkannya mencari nafkah sebagai seorang tukang ojek pangkalan, yang sering tersisih mencari penumpang dibandingkan dengan ojek online.

Bukan Jarwo tak mau beralih menjadi ojek online, tetapi kondisinya yang buta huruf membuatnya hanya bisa menjadi seorang tukang ojek pangkalan.

Demi membantu suaminya, Siti berjualan kue. Setiap hari bangun jam 2 pagi, membuat kue basah untuk dijual di pasar dan dititipkan di warung-warung dekat rumah. Suaminya tak pernah mengizinkannya untuk bekerja di pabrik, karena Jarwo ingin ketiga anak mereka dididik oleh ibunya. "Biarlah aku saja yang kerja ya Bu, kamu didiklah anak-anak kita menjadi anak Soleh dan Soleha dirumah."

Tak terasa air mata Siti pun menderas mengingat almarhum suaminya.. Sesosok pria lembut dan santun meski kehidupannya tak berada.

"Bu, kita boleh miskin, tapi kita jangan mengenyampingkan pendidikan anak ya Bu." "Bapak inget ceramah ustad Soleh ba'da subuh tadi, saat meninggal, semua amal perbuatan manusia akan terputus, kecuali tiga hal; amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak Soleh yang selalu mendo'akan orangtuanya."

"Kalau harta kan kita ga punya Bu, ilmu apalagi, kita ini sama-sama ga pernah sekolah, jadi ilmu apa yang bisa kita bagikan, kita cuma punya anak, yang insya Allah kita bisa didik menjadi anak Soleh dan Soleha ya Bu."

Lagi-lagi air mata Siti menderas mengingat memori percakapannya dengan almarhum, terbayang wajah ketiga buah hatinya yang menjadi Qurrota a'yun baginya dan almarhum suami. Tatapan sendu mereka saat ia izin untuk kembali melamar di pabrik yang ternyata berujung penolakan. Terbayang wajah Ani si sulung yang duduk di kelas 6 SD, gadis santun berjilbab rapi yang hafal 5 juz, anak keduanya Fatih yang duduk di kelas 3 SD dan hafal 2 juz, dan si bungsu Aisyah yang baru berumur 6 tahun yang baru akan sekolah tahun ini.

Ketiganya adalah anak yang soleh dan soleha, pintar dan santun. Karena bersekolah di SD Negeri, mereka tidak membayar biaya sepeserpun dan mendapat beasiswa tidak mampu yang digalang oleh Komite sekolah bagi siswa berprestasi yang tidak mampu.

"Ah, lagi-lagi Siti tersentak, ia rindu pada ketiga buah hatinya.. perlahan ia bangkit, dan berjalan pulang.

Sesampainya di kontrakan ia mengucapkan salam "Assalamualaikum".. "ibuu"..si kecil Aisyah yang bermain di tetangga sebelahnya pun berteriak memanggil dirinya. Tadi sebelum berangkat ia memang menitipkan Aisyah kepada Marni tetangga yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri. Setelah itu ia mengantar Ani dan Fatih ke Sekolah baru berkeliling mencari kerja.

"Kak Ani dan mas Fatih mana nak, kok belum pulang?" Tanyanya pada Aisyah. "Tadi sepulang sekolah mas Fatih bilang mau ke mesjid Bu, mau bantu kakek Muhammad membersihkan mesjid."katanya "kalau kak Ani, tadi dimintai tolong sama Bu Neneng untuk ngajarin Nina matematika Bu, besok katanya mau ulangan."

Siti pun tersenyum, Ani anak mereka dikaruniai Allah kecerdasan di atas rata-rata, sehingga terkadang suka diminta tolong tetangga untuk mengajar anak mereka.

"Ya udah kalau begitu, Aisyah udah makan?"tanyanya "Udah Bu, tadi sebelum berangkat kak Ani masak nasi goreng dulu."

Ah, Siti lagi-lagi trenyuh..kehidupan memang mentakdirkannya sebagai orang yang miskin harta, tetapi Allah mengkaruniakannya dengan anak-anak yang menjadi permata hati...

To be continued

Belajar nulis fiksi lagi nih, masih berantakan hehe..

Komentar

  1. tulisan ini sekalipun fiksi, dalam kenyataanya ada banyaakkk.. ketika seorang wanita menjadi janda, dia harus menanggung hidupnya dan hidup anak2nya. sementara beban hidup semakin menumpuk dari hari ke hari..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mb Helmiyatul, tulisan ini mencoba mengangkat kisah mereka.

      Makasih sudah mampir

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Mengurus Roya Sendiri

Alternatif Kuliner Sekitaran Jombang - Pondok Aren

NHW Pra Bunda Sayang #Adab Menuntut Ilmu dan Code of Conduct